Cerpen Sepotong Roti
Sepotong Roti
Di pojok kolong jembatan yang tak tersorot matahari, terlihat dua sosok anak kecil dengan wajah yang sedikit mirip duduk tertegun diatas dua lembar kardus yang di bentangkan di atas tanah. Mereka adalah Riko dan Andi, kakak beradik yang sudah lama menghuni pojokan kolong jembatan ini. Bagi mereka pojokan ini lah tempat paling nyaman untuk pulang.
Untuk bertahan hidup mereka mencari uang dengan menjual suaranya yang tidak pernah sekolah vokal dan petikan gitar yang mereka pelajari sendiri. Jangankan untuk menyekolahkan suaranya atau menyekolahkan jari-jari mereka untuk bermain gitar. Untuk sesuap nasi saja mereka harus berjuang. Tak jarang mereka hanya mendapat tatapan sinis dari sebagian penumpang, dan tidak mendapat uang receh sekeping pun.
Hari ini Andi harus ngamen seorang diri. Riko kakaknya masih lemas, wajahnya nya memar karena berkelahi dengan preman terminal semalam. Bukan karena jagoan, riko hanya mempertahankan uang hasil ngamennya yang direbut si preman.
Tidak hanya kali ini mereka mengalami kejadian seperti itu. Kerasnya kehidupan dijalanan membuat mereka mau tidak mau harus berusaha sekuat mungkin mempertahankan hidupnya. Sehari tidak makan karena uang hasil ngamen dipalak preman sudah bukan hal asing bagi mereka.
Hanya hukum rimba yang berlaku disini, siapa yang paling kuat dialah yang paling berkuasa. Bukankah negeri ini negeri demokrasi, dimana semua rakyatnya berhak hidup damai, berhak mendapatkan perlindungan dari negara. Tak ada mobil lapis baja bagi mereka yang terlantar di jalanan, ataupun pengawalan ketat pasukan gagah bersenjata. Jauh dari itu pelukan hangat ayah-ibu pun tidak pernah terpikir oleh mereka.
Bukankah dalam undang-undang negri ini sudah tertera bertahun-tahun bahwa orang-orang yang kurang beruntung seperti mereka yang disana seharuanya dipelihara oleh negara. Entahlah itu sebuah kalimat yang menjadi hakim untuk ditaati, ataukah hanya kalimat bersajak berlapis hukum.
Di dalam bus Andi mulai memetik gitarnya sambil memberikan kalimat pembius, lebih tepatnya kalimat pembuka yang kadang tidak dihiraukan oleh sebagian besar penumpang diangkutan umum seperti bus ini.
"Ku ambil gitar dan mulai memainka..n, lagu lama yang biasa kita nyanyika..an"
Sebuah lagu dari grup band legendaris itu menggaung memenuhi setiap sudut dalam kotak baja berkursi penumpang ini. Satu dua orang penumpang ikut bernyanyi dengan suara hampir tak terdengar, sebagian yang lainnya hanya menikmati alunan musik ukulele yang di mainkan andi, dan sekelompok lainnya kesal karena petikan ukulele andi beradu kuat dengan kebisingan kendaraan di terminal itu. Belum lagi suara teriakan para kondektur yang berebut mendapatkan penumpang.
Sang surya sangat cepat berlalu ke ufuk barat. Lampu-lampu jalan mulai menyala, lampu pedagang kaki lima tak mau ketinggalan menerangi sudut jalan kota ini. Andi berjalan gontai menuju sebuah warung nasi. Hasil ngamen hari ini cukup banyak, untuk ditukar dengan dua bungkus nasi pun masih cukup.
Sebuah plastik bungkus permen berisi uang hasil ngamen ia tenteng, toh uang ini akan segera ditukar dengan dua bungkus nasi. Tiba-tiba dari belakang seseorang merebut kantong permen yang di pegaangnya itu. Padahal tinggal beberapa langkah lagi menuju warung nasi. Kejadian itu begitu cepat, hingga Andi tak sempat melihat wajah copet itu. Suasana yang ramai pun ikut terlibat melindungi si copet.
Dengan raut wajah yang murung Andi berjalan diantara kemegahan sebuah sudut kota. Yang hingar-bingar oleh manusia-manusia yang mempunyai uang lebih untuk membeli gaya hidup.
Ia masih menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja kantong tadi ia simpan dengan rapi, Andai saja ia berjalan lebih cepat menuju warung nasi itu. Andaikan, andaikan, andaikan.. Kata-kata itu semakin menguasai otaknya. Layaknya sebuah kesaksian yang semakin menyudutkan terdakwa di depan hakim.
Tiba-tiba matanya tergerak menuju sebuah bangku halte yang kosong. ia melihat sebungkus roti yang baru sebagian kecil dimakan pemiliknya. Mungkin ini cara tuhan memberikan kasih sayang kepada hambanya. Seorang anak yang baru saja naik bus meninggal kan sepotong roti di halte karena anak itu sudah merasa kenyang.
Seperti kisah sebuah daun yang jatuh ke tanah. Sebagian dari kita tidak pernah memikirkan kenapa daun jatuh dari pohonnya, atau mungkin kita tidak pernah peduli dengan hal itu. Sungguh indah cara tuhan memberikan kasih sayang kepada hambanya. Sungguh kita tidak pernah tau bahwa daun yang jatuh ke tanah akan menjadi makanan untuk cacing tanah dan makhluk pengurai lainnya.
Andi berjalan dengan cepat menuju sudut gelap di pojokon sana. Sesekali cahaya kendaraan menerangi tempat itu. Hanya sekelebat cahaya, tak ada yang bertahan lebih lama.
Di atas sebuah alas kardus bekas mereka duduk berhadapan. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Andi mengulurkan tangan nya, sepotong roti yang tadi teronggok di bangku halte ia berikan kepada kakak nya. Kakaknya tersenyum, lalu mengambil roti itu.
Riko tau, adiknya seharian mencari uang untuk makan hari ini. Mungkin adiknya sama laparnya seperti yang ia rasakan. Sebenarnya ia merasa cemas adiknya ngamen seorang diri hari ini. Ada beberapa hal yang ia takutkan terjadi kepada adiknya.
Riko membagi sepotong roti itu menjadi dua. Tangannya terulur, separuh roti itu diberikan untuk adiknya. Tak ada yang tau kejadian itu, bahkan mereka sibuk dengan gadget dan makanan enak di restoran mewah. Bukan tidak ada yang menyaksikan peristiwa itu, tapi kita yang terlalu sibuk dengan memikirkan kehidupan duniawi. Sudah selayaknya kita bersyukur kepada yang maha menyaksikan atas semua peristiwa di jagat raya ini.
Komentar
Posting Komentar